Pencak Silat Pusaka Jakarta
Berdiri untuk Melestarikan Silat Betawi
Aliran utama yang diajarkan di perguruan itu adalah gerak cepat.
Dua pekan lalu, ratusan orang berseragam hitam-hitam memenuhi Gang Bedeng, Manggarai, Jakarta Selatan. Di sana, mereka memperagakan atraksi pencak silat yang mendapat sambutan cukup antusias.
Tak kalah menarik perhatian adalah kehadiran beberapa figur penting, seperti Presiden Persekutuan Pencak Silat Antarbangsa (Persilat) Eddie M. Nalapraya, Ketua Harian Ikatan Pencak Silat Indonesia Rachmat Gobel, Ketua Umum Persatuan Pencak Silat Putra Betawi Deddy Suryadi, dan Ketua Harian Persilat Rustadi Effendi.
Yang empunya hajat adalah perguruan pencak silat Pusaka Jakarta, yang pada Sabtu itu merayakan hari jadinya ke-50. Tepatnya, pada 1957, perguruan ini didirikan untuk mengembangkan dan melestarikan silat Betawi, kata guru besar, H Sanusi, yang lebih dikenal dengan sebutan Bang Uci.
Aliran pencak silat utama yang diajarkan di perguruan itu adalah gerak cepat, yang dipelajari Bang Uci dari gurunya, Mursadi bin Rabidun (wafat pada 1975). Guru saya (almarhum) belajar dari banyak guru, seperti Pak Salim, Pak Minan, Pak Ningnong, Mandor Peris, dan Pangeran Pakpak dari Cirebon, katanya.
Uci muda mulai belajar dari gurunya yang tinggal di Sawah Besar mulai 1943 sampai wafatnya pada 1975. Ketika itu usia beliau sudah 70-an, ujarnya.
Uci juga menyempatkan belajar aliran silat lain, seperti Cimande, Aliran Lima Waktu, dan Gerak Rasa. Niat utama saya adalah menjaga dan menjalin silaturahmi dengan guru-guru silat lainnya, katanya.
Setelah bekalnya dirasakan cukup, Uci akhirnya membentuk perguruan silat. Dalam waktu tidak terlalu lama, Pusaka Jakarta akhirnya berkembang ke lima wilayah Jakarta. Hal ini karena Bang Uci menerapkan prinsip desentralisasi dengan membebaskan muridnya yang sudah mumpuni untuk mengajarkan ilmunya.
Selain itu, Karena keunikan ilmu Gerak Cepat itu sendiri, katanya. Karakter aliran ini memang cukup unik, yakni mengandalkan kecepatan dalam perkelahian. Begitu lawan menyerang, langsung secepatnya kita harus tangkis dan balas, kata Sisu, salah satu murid Bang Uci.
Serangan lawan hanya ditangkis dengan cepat dan dalam waktu bersamaan pesilat langsung meluncurkan serangan balasan. Kecepatan menjadi sangat penting agar lawan tidak memiliki kesempatan untuk melakukan serangan susulan, kata Dadang, murid Bang Uci lainnya.
Serangan dilakukan dengan menggunakan buku jari dan ujung jari ke daerah-daerah rawan dari tubuh lawan. Adapun serangan kaki dilakukan dengan melakukan sapuan terhadap kuda-kuda lawan. Lagi-lagi semua serangan harus dilakukan dengan cepat. Kalau gerakannya lambat, lawan akan mudah melakukan antisipasi, katanya.
Jagoan Pengatur Laga
Kamera siap, action! teriak Bang Uci ketika Tempo hendak mengambil foto murid-muridnya. Maklum, ia pernah lama malang-melintang sebagai fight choreographer atau pengatur laga di beberapa film layar lebar dari 1960-an sampai 1980-an.
Beberapa film yang pernah ia arahkan di antaranya Si Pitung, Si Jampang Mencari Naga Hitam, Laki-laki Pilihan, dan Nyai Dasima, yang dibintangi aktor dan aktris terkenal pada zamannya, seperti Soekarno M. Noor, Nani Wijaya, dan Dicky Zulkarnaen. Ada sekitar 20 film di mana saya menjadi pengatur laganya, katanya.
Menurut Uci, motivasi utamanya bekerja sebagai pengatur laga sebenarnya adalah untuk bisa memasyarakatkan pencak silat. Bela diri-bela diri lainnya bisa berkembang dengan baik lewat promosi secara tidak langsung dengan film-film laga, katanya.
Karena itu, ia berharap ada sineas Indonesia yang membuat film laga yang tidak hanya bagus dari sisi cerita, tapi juga menampilkan pencak silat dengan kemasan yang baik. Kalau ada rumah produksi atau sutradara zaman sekarang yang mampu membuat film pencak silat yang baik seperti itu, saya akan senang sekali untuk membantu, katanya.
Sumber : http://zuperhero.blogspot.com/2009/02/pencak-silat-pusaka-jakarta.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar! 1 komentar sangat berarti untuk kemajuan blog ini.